Selamat datang di Berita Lampung Online

Analisa Sengketa Pilkada dan Inklusifitas Politik

Monday, July 26, 20100 komentar

Analisa Sengketa Pilkada dan Inklusifitas Politik : Persidangan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai dibuka oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa saat setelah perhitungan suara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia. Sengketa dan konflik pasca Pilkada telah menjadi pemandangan biasa selama dua kali episode Pilkada di Indonesia.

Liberalisasi politik dalam konteks desentralisasi kini semakin mendekati ramalan Alfin Toffler yakni kebangkitan raja-raja lokal (local strong man) dan korupsi—keduanya rentang terhadap meningkatnya frekuensi pertentangan politik (kontentius politic), kekacauan dalam pelayanan publik bahkan kekerasan dalam masyarakat.

Sengketa Pilkada berarti menggiring proses politik ke ranah hukum. Tentu saja dibenarkan sejauh diorientasikan sebagai ranah menuju kebenaran dan pembongkaran pada fakta-fakta pembusukan demokrasi. Bukan pada konteks pertempuran jilid dua atau bagian dari tindakan politis kontestan tertentu untuk memperebutkan kemenangan.

Sayangnya, kita memiliki sejarah suram tentang sengketa Pilkada, dimana penggugat akan kehilangan daya di hadapan MK. Tanpa bukti dan fakta konkret yang sungguh-sungguh menjadi argumen kuat adanya pelanggaran kuat yang mengarah pada pembatalan keputusan KPUD, MK sudah pasti akan mengebiri tuntutan kontestan yang menggugat.

Tidaklah aneh, ketika ada elite politik mengatakan "lebih baik menang curang, ketimbang kalah karena dicurangi". Kalimat ini kelihatan sederhana, tetapi bisa dimaknai sebagai bola efek dari demokrasi elektoral dengan tiga masalah besar sekaligus;

budaya politik kita yang memang tidak terbangun secara baik, mekanisme politik yang serba timpang serta proses hukum penanganan sengketa Pilkada yang justru tidak mengarah pada rekonstruksi terhadap kecenderungan adanya pembusukan politik.

Inklusifitas dalam Politik

Georg Sorensen (2003) seorang pemikir politik, mengingatkan bahwa dalam sebuah demokrasi tidak ada satu kelompok pun yang semestinya yakin bahwa kepentingannya yang akan menang. Bahkan kelompok yang paling kuat sekalipun, harus siap menghadapi kemungkinan bahwa mereka bisa saja kalah dalam kompetisi dengan pihak lainnya.

Politik adalah konflik kekuasaan, tetapi berorientasi pada satu tumpuan mendasar yakni moralitas. Kompetisi dalam politik memainkan logika esklusi dan inklusi. Masing-masing kontestan berjuang untuk memperebutkan konstituen, demokrasi membuka akses yang sama bahwa setiap kontestan memiliki kesempatan yang setara dalam membangun sumber daya.

Setiap kontestan melakukan proses esklusi terhadap kontestan lainnya. Esklusi berarti mengeluarkan orang lain dari diri kita, dalam arti mengimbangi visi politik orang lain. Kompetisi dalam politik mensyaratkan kesempatan menunjukkan kapasitas dan kepastian absolut bahwa ketika dipilih akan mampu menjawab problem publik.

Ketika kompetisi telah dibuka berarti perang politik pun dimulai. Pemenang kompetisi adalah mereka yang berhasil meng-eksklusi lawan-lawannya. Esklusi dalam politik tidaklah kekal, tetapi memainkan logika timbal balik. Pemenang dalam kompetisi haruslah meng-inklusi kembali lawan-lawannya begitu kepastian kemenangannya sudah diputuskan.

Itulah sebabnya, dalam politik memang tidak dikenal ada kawan maupun lawan sejati. Logika esklusi dan inklusi terus bermain. Hari ini lawan, besok ia kawan dan seterusnya. Inklusifitas menjadi sangat penting artinya dalam politik dengan kompetisi yang plural, bahwa setiap penguasa harus meng-inklusi lawan-lawannya. Melupakan peristiwa-peristiwa kompetisi, lalu berkonsolidasi kembali untuk mencapai upaya pemenuhan kesejahteraan rakyat.

Tidaklah etis kira-kira ketika ada istilah dendam politik apalagi termarjinalkannya seseorang dari kebijakan penguasa karena tidak memberi dukungan pada saat kontestasi. Kalau fenomena seperti itu terjadi berarti kita sedang melanggar prinsip utama demokrasi politik yakni; kompetisi, partisipasi, dan kebebasan, sebagaimana dikemukakan Robert Dahl.

Pihak yang kalah dalam kompetisi politik hanya punya dua pilihan, bersedia masuk dalam pusaran kekuasaan hingga periode pemerintahan tertentu. Atau keluar secara totalitas dan menjadi oposisi. Oposisi tidak selalu berarti barisan politik sakit hati yang akan menyerang kekuasaan dari luar. Oposisi memainkan peran kontrol dan penyeimbang, sekaligus mencegah kecenderungan munculnya otoriterisme dan oligarki dalam kekuasaan.

Atau seperti yang diistilahkan Ignas Kleden, oposisi sebagai advocatus diaboli atau devils advocate. Kelompok yang mengemukakan kelemahan kebijakan tertentu sehingga dampak buruk dari setiap kebijakan itu bisa diminimalisasi.

Antagonisme dalam politik memang menjadi realitas tak terhindarkan. Peran-peran antagonis dijalankan oleh politisi yang merasa tidak bisa berkompromi terhadap visi politik politisi yang lain. Pemeran antagonis lalu menyusun visi yang lain sebagai jalan alternatif untuk pemecahan urusan publik.

Oleh sebab itu, kontestan pesaing dalam sebuah kompetisi harus memikirkan strategi dan visi yang melampaui incumbent. Sebaliknya, incumbent haruslah menjejaki terus strategi dan visi pesaingnya agar tidak kehilangan konstituen.

Pertarungan dalam kompetisi politik memang sangat dramatis, tetapi sekali lagi konflik-konflik di dalamnya tidak bersifat fisikal, tetapi pada konflik yang sifatnya fair play dan equal (seimbang).

Betapa pun juga, kekerasan dalam politik tentu saja tidaklah dibenarkan. Peristiwa kemenangan dan kekalahan hanyalah bagian dari rotasi dinamik dari logika esklusi-inklusi. Hari ini kalah, besok mungkin akan menjadi pemenang.

Sekalipun kalah, ruang untuk berpartisipasi dalam perjuangan kerakyatan selalu terbuka. Pemenang seyogianya membuka ruang, meng-inklusi pesaingnya, atau secara totalitas sebagai oposisi yang konstruktif.

Belajar dari dua jilid Pilkada

Dalam dua kali Pilkada diselenggarakan di sejumlah daerah di Indonesia, sejumlah persoalan seperti berulang. Masalah-masalah teknis seperti daftar pemilih, soal anggaran Pilkada yang begitu besar, independensi penyelenggara maupun proses pemilihan yang tidak memberi ruang lebih pada terciptanya partisipasi politik yang kritis, semuanya jelas telah membuat jalan kita menuju demokratisasi mengalami kebuntuan yang serius.

Selain konflik yang mencekam setiap proses Pilkada digelar, kualitas kepemimpinan dengan jalan yang buntu pastilah tidak melahirkan kepemimpinan lokal yang kuat. Padahal, itikad baik Pilkada langsung di ruang lokal ini adalah turunan dari konsep desentralisasi. Melalui pilkada-lah, masyarakat diharapkan bisa menemukan nasibnya sendiri.

Sayangnya, Pilkada telah menjauh dari prinsip demokratisasi. Pilkada telah menjelma sebagai ruang pertarungan antar-elite yang sekadar menempatkan publik sebagai objek yang bisa dipertukarkan. Konflik-konflik kekerasan pasca Pilkada pun bisa ditengarai sebagai konflik elite yang menyertakan masyarakat, bukan sepenuhnya konflik yang murni oleh konflik antar pemilih.

Georg Sorensen, menyebut demokrasi yang didominasi elite sangatlah mengkhawatirkan akan menimbulkan apa yang disebutnya sebagai demokrasi beku (frozen democracy). Elite-elite yang dominan tersebut tidak melaksanakan reformasi subtantif. Benar mereka memikirkan bagaimana mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan, namun memberikan terlalu sedikit porsi untuk orang miskin.

Pada akhirnya, sengketa Pilkada yang melibatkan elite-elite politik adalah ekses dari perseteruan elite yang begitu dominan. Pertarungan politik tidak lagi fair, semua cara bisa dilakukan untuk merebut kemenangan. Elite-elite yang bertarung itu sama-sama merasa akan memenangkan pertarungan dan menjauh dari mimpi-mimpi kekalahan.

Konflik pun mudah terjadi, terutama bila penetapan hasil akhir Pilkada. Pihak yang ter-esklusi tidak bisa berterima. Pada saat yang sama, kita tidak memiliki semacam perangkat sistem yang akan membuat para elite itu saling meng-inklusi pasca pemilihan. sayangnya, sistem memberi pilihan dibukanya sengketa di MK yang toh tidak berdampak baik pada perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.
Lalu, kapan para politisi kita berkata: "menang dicurangi itu tak baik, apalagi dengan menang curang".
Makalah Pilkada dan Gugatan Hasil Pilkada
Share this article :

Post a Comment

Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam

 
Copyright © 2011. Berita Lampung - All Rights Reserved
Template Created by Pakar Lampung Proudly powered by Blogger