Berita Lampung Pengemis Yang Menipu Kaki Diikat agar Dikira Buntung ; Anak jalanan serta gelandangan dan pengemis (anjal dan gepeng) yang hidup di jalan karena faktor kemiskinan semestinya dikasihani. Tapi, bagaimana jika mereka hidup di jalan karena malas mencari pekerjaan lain bahkan berpura-pura cacat untuk mengundang iba? Layakkah mereka mendapat simpati?
seperti di Kutip Berita Lampung dari Radar Lampung Jarnoaka Muhidin adalah lajang berusia 26 tahun. Ia gelandangan dan pengemis (gepeng) yang biasa beroperasi di perempatan lampu merah Wayhalim, Kedaton, Bandarlampung. Untuk memuluskan aksinya, Muhidin –sapaan akrab Jarnoaka Muhidin– berpura-pura kehilangan sebelah kakinya
Muhidin mengikat kaki kanannya ke belakang, sementara celana panjang yang ia kenakan dibiarkan menjuntai sehingga pengguna jalan yang kurang jeli akan menyangka Muhidin cacat. Dengan modus ini, dia tahan duduk di lampu merah selama berjam-jam.
Dengan barisan gigi yang kotor dan menghitam, ditambah kuku panjang yang juga terlihat hitam, siang itu Muhidin duduk dengan kemeja kumal. Sesekali, ia menggaruk pergelangan kakinya dengan kuku. Siapa pun yang tidak mengenal pribadi Muhidin dijamin langsung kasihan sehingga tanpa ragu menyisihkan recehan yang ia miliki untuk diberikan kepadanya.
Penelusuran wartawan koran ini, pria kelahiran 19 Januari 1984 ini telah menggelandang sekitar lima tahun. Entah apa yang ada di benaknya sehingga ia lebih memilih jalan tersebut. Padahal, dia masih punya rumah dan orang tua di Jalan Danau Toba RT 12, Lingkungan I, Surabaya, Kedaton, Bandarlampung.
Saat mencoba mewawancarai Muhidin, kedatangan Radar Lampung pada Senin (10/5) tidak dianggap. Dia hanya menjawab pertanyaan sekenanya. ’’Nggak betah di rumah,” jawabnya singkat saat ditanya mengapa mau menjadi gepeng. Ia mengaku, penghasilan dari meminta-minta habis digunakan untuk makan dan membeli rokok.
Penuturan ibunya, Jumini (55), Muhidin sebenarnya adalah tipe anak yang rajin dan penurut. Sejak ayahnya, Syaiful (65), meninggal dunia, ia lebih dekat dengan sang kakek, alm. Solehan. Kenakalannya kembali timbul setelah Solehan meninggal dunia pada 2005, menyusul istrinya, Painah, yang berpulang pada 1991. Sejak itu, Muhidin mengemis dan tinggal di jalan.
Sepeninggal suaminya, Jumini membiayai kehidupannya dengan menjadi buruh cuci. Penghasilan dari upahnya mencuci waktu itu berkisar Rp200 ribu per bulan. Pada 2005, Jumini menikah lagi dengan Marsudiono (58), duda tiga anak yang berprofesi sebagai tukang becak dan biasa mangkal di Pasar Bambu Kuning.
’’Sebagai cucu pertama, Muhidin memang sangat disayang kakeknya. Namun, setelah kakeknya meninggal, dia jadi seperti ini. Kami sudah bosan menasihatinya, tapi tidak pernah didengar,” keluh Jumini dengan mata berlinang.
Menurut Jumini, bibit-bibit kenakalan Muhidin sudah muncul sejak ia kecil. ’’Muhidin pernah sampai malam tidak pulang. Kami sudah sibuk mencarinya dan tengah malam polisi datang mengantarkannya,” ujar perempuan yang beberapa giginya telah tanggal ini. Muhidin juga sebelumnya pernah nekat naik kereta api menuju Palembang, Sumatera Selatan, dan menggelandang di sana selama satu minggu.
Modus semacam ini banyak juga dilakukan pengemis di jembatan penyeberangan Bambu Kuning. Bedanya, di wilayah tersebut biasanya para pengemis sudah ada yang mengoordinasi. Hal ini sesuai pengakuan Anto, seorang loper koran yang sempat diwawancarai Radar Lampung. Sayangnya, para pengemis itu sangat kompak. Terbukti, saat ditanyai tidak ada satu pun yang buka mulut perihal kegiatannya tersebut.
Selama ini, Muhidin memang memiliki catatan hitam di daerah tempat ia tinggal. Ia baru saja bebas pada 15 April 2010 karena kasus pencurian kompor gas milik seorang pedagang nasi goreng di Jl. Z.A. Pagar Alam. Ketika itu, Muhidin harus mendekam di balik jeruji besi selama sepuluh bulan.
’’Orangnya reseh, tiap saya lewat dicurigain dan ditempeleng terus. Jadi sekalian saja saya ambil kompornya,” tutur pria yang sedikitnya lima kali pindah sekolah dasar meskipun tetap tidak lulus.
Ketua RT setempat, Cipto (43), menyatakan bahwa Muhidin sedikit stres. Ia seringkali berulah dengan mencuri barang-barang keluarga maupun milik saudaranya sendiri. Selang seminggu kebebasannya saja, anak semata wayang ini kembali berulah dengan mencuri ponsel milik tetangganya. Sejak itu, Muhidin kabur dan tidak pernah pulang.
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam