Berita lampung Dokter Anak Terbaik Se Asia Pasifik Prof. dr. Srisupar Yati Soenarto, Sp.A(K)., Ph.D,; Srisupar Yati Soenarto kini menyandang predikat dokter anak terbaik di Asia Pasifik setelah meraih Pediatric Award. Penghargaan yang hanya diberikan tiga tahun sekali itu dianugerahkan The Asian Pacific Pediatric Association (APPA).
SRISUPAR Yati Soenarto sedang asyik menekuni layar laptop di hadapannya. Beberapa kali dia memainkan jarinya di atas keyboard. Di sebelah kirinya, tergeletak BlackBerry (BB) merah hitam. Dia tengah mengecek beberapa data penelitian terbarunya.Sesekali, BB miliknya berdering. Dia langsung mengangkat, kemudian menginstruksikan sejumlah tugas kepada si penelepon. ’’Dari asisten saya,’’ katanya singkat.
Hari itu, dia tampil santai. Mengenakan kaus lengan panjang bergaris dipadu celana jins. Jauh dari kesan serius seperti kebanyakan profesor dan dokter senior. Padahal, dia merupakan guru besar purnatugas di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Yati –begitu dia akrab disapa– memang bukan pribadi yang gemar menonjolkan diri sendiri. Meski profesor senior, dia merupakan orang yang rendah diri. Ditambah, Yati suka bercanda dan mudah tertawa lepas. Gaya bicaranya ceplas-ceplos.
Ketika ditemui di sebuah hotel berbintang di Jakarta, berkali-kali dia mengingatkan. ’’Ojo ditulis yang macem-macem seng ngumuk-ngumukne aku, ora penak karo liyane (Jangan ditulis macam-macam yang kesannya meninggikan diri saya, tidak enak dengan teman yang lain),’’ ujarnya dengan bahasa Jawa logat Jogja yang kental. Namun, tidak dimungkiri, Yati merupakan sosok wanita cerdas yang sangat peduli terhadap kondisi pendidikan serta kesehatan di negeri ini. Terbukti, lewat puluhan penelitian yang sudah dilakukan, dia berhasil mengharumkan nama bangsa.
Tahun lalu (Oktober 2009), dia menerima penghargaan Pediatric Award dari The Asian Pacific Pediatric Association (APPA) yang diserahkan di Shanghai, Tiongkok. Penghargaan tersebut sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai dokter anak terbaik se-Asia Pasifik hingga 2011. Sebab, gelar tersebut hanya diberikan tiap tiga tahun sekali.
Keberhasilan di kancah internasional itu bukan yang pertama bagi istri Prof (Emeritus) Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.T.H.T. tersebut. Sebelumnya, dia mendapatkan banyak penghargaan di bidang kesehatan, baik tingkat nasional maupun internasional. ’’Tapi, paling bergengsi ya yang ini,’’ ujar satu-satunya wanita Indonesia yang mampu menyisihkan 12 dokter anak se-Asia Pasifik tersebut.
Profesor 66 tahun itu terpilih berkat kiprahnya dalam meneliti diare pada anak selama 40 tahun. Diare, kata dia, merupakan kasus penyakit terbanyak serta penyebab kematian bayi tertinggi di Indonesia. ’’Selain itu, diare dikenal sebagai penyebab utama bayi kekurangan gizi yang mengakibatkan daya tahan tubuh bayi rendah. Karena itu, risiko kematiannya juga tinggi,’’ urainya.
Yati meneliti diare sejak 1976 bersama Prof. Ruth Bishop dari Australia. Bishop adalah penemu rotavirus (virus penyebab diare) pertama di dunia. Keduanya bekerja sama meneliti infeksi rotavirus pada penderita diare di Indonesia. Hasil penelitian itu, rotavirus menjadi penyebab utama kasus diare di Indonesia.
Selain didukung profesor Australia, Yati bekerja sama dengan beberapa guru besar serta staf dari universitas lain di Indonesia. Dia juga dibantu staf Kementerian Kesehatan. ’’Saya melakukan penelitian ini membawa nama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Saya juga sangat berterima kasih atas bantuan rekan-rekan,’’ tegasnya.Hasil penelitian tersebut memberi efek besar terhadap cara pengobatan pada penderita diare yang sebelumnya selalu menggunakan antibiotik. Lewat hasil penelitiannya, Yati mendorong pemerintah Indonesia untuk memproduksi vaksin rotavirus dengan harga yang cukup murah untuk menggantikan antibiotik. Upaya tersebut berhasil. Pada 2012, vaksin rotavirus akan mulai dipasarkan berdasar kerja sama antara Melbourne University dan PT Biofarma.
Selain berhasil ’’membujuk’’ pemerintah, hasil penelitian Yati dipublikasikan secara luas di sejumlah jurnal kesehatan internasional. Berkat publikasi tersebut, pencetus pendirian pusat penanggulangan penyakit diare di beberapa rumah sakit di Indonesia itu diundang menghadiri forum-forum internasional untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. ’’Mungkin karena itu juga saya bisa dapat penghargaan Pediatric Award tersebut,’’ katanya lantas tersenyum.
Ketertarikan Yati pada dunia kedokteran tidak datang tiba-tiba. Ayah dan kakeknya adalah dokter. Karena itu, dunia tersebut menjadi bagian hidupnya sejak kecil. Tumbuh besar di lingkungan dokter membuat Yati menjatuhkan pilihan yang sama dengan ayah maupun kakeknya. Tidak ada paksaan dari orang tua. ’’Lha saya memang seneng kok,’’ ujar anak kedua di antara delapan bersaudara itu.
Selepas SMA, ibu tiga anak tersebut mantap meneruskan pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM pada 1963. Selama menjalani pendidikan dokter, ketertarikan Yati pada dunia kedokteran makin menggebu. Apalagi ketika dia menjalani program co-ass (co-assistant). ’’Hampir semua bidang kedokteran itu menarik. Waktu di bagian mata, kok nyenengke, cilik tapi jendela otak,’’ kenangnya.
Awalnya, tidak terpikir dalam benak Yati untuk meneruskan pendidikan spesialis anak. Sebab, setelah menikah pada 1968, dia memilih meneruskan spesialis kulit atau mata.Namun, satu-satunya profesor spesialis anak saat itu, almarhum Prof Ismangun, menyarankan agar Yati memilih spesialis anak melalui suaminya. "Beliau bilang sama suami saya, ’’Piye nek bojomu mlebu anak wae (bagaimana kalau istrimu masuk spesialis anak saja),’’ kata Yati menirukan ucapan Profesor Ismangun yang disampaikan lewat sang suami itu.
Perkataan tersebut dipertimbangkan Yati. Akhirnya, dia memutuskan memilih spesialis anak seperti yang disarankan Profesor Ismangun. ’’Saya mikirnya, saya kan seorang ibu. Jadi, ya klop lah,’’ ujarnya. Memasuki pendidikan spesialis anak, dia makin menyukai dunia anak-anak. Bahkan, Yati yang waktu itu sudah memiliki dua anak rela memboyong dua buah hatinya ke mana pun pergi ketika tengah meneliti.
Untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialisnya, dia meneliti tiga penyakit yang menjadi penyebab terbesar kematian anak di Indonesia pada masa itu. Yakni, diare, tuberkulosis, dan demam berdarah.Tidak jarang, ketika mengunjungi pasiennya yang sedang menderita tuberkulosis, alumnus PhD Fakultas Kedokteran Vrije University, Belanda, tersebut mengajak anak-anaknya. ’’Mereka saya ajak piknik di halaman rumah pasien. Lalu, saya tinggal memeriksa pasien,’’ ungkapnya.
Tujuannya, sang buah hati memiliki rasa empati yang tinggi kepada sesama. Untungnya, sang suami, dokter Soenarto, selalu mendukung semua kegiatan Yati. Bahkan, tidak jarang dia mengantar Yati ke mana pun bersama anak-anak mereka. Dukungan sang suami tidak hanya sampai di situ. Dia juga serting mengajak Yati menghadiri sejumlah forum kesehatan. ’’Pada dasarnya, saya memang senang menjalin networking bareng Prof. Narto (suami). Jadi, semakin klop,’’ tuturnya.
Sama-sama gemar mengikuti berbagai forum, pasangan tersebut berhasil menjalin kerja sama dengan universitas-universitas ternama di dunia. Sebut saja, Harvard Medical School hingga Melbourne University. Semua dilakukan berdua. ’’Kami menganut prinsip person to person kalau mau jalin networking,’’ ungkap mantan guru tari tersebut.
Berkat keaktifan keduanya, tidak jarang Yati maupun Narto diundang bersama-sama sebagai pembicara dalam sejumlah forum, baik nasional maupun internasional. Belasan negara sudah mereka kunjungi. Menariknya, semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. ’’Lha semua ditanggung sama yang ngundang. Jadi, kami itu selalu jalan-jalan ke luar negeri gratis-tis. Wong kami ini wanted kok,’’ ujarnya lantas terbahak.Yati menambahkan, dirinya maupun sang suami hingga kini masih aktif meneliti dan menghadiri sejumlah forum untuk memperkaya ilmu. ’’Ya, selagi masih diberi waktu, kami manfaatkan,’’ ucapnya.
Home
biografi tokoh
Dokter Anak Terbaik Se Asia Pasifik Prof. dr. Srisupar Yati Soenarto, Sp.A(K)., Ph.D
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam