Selamat datang di Berita Lampung Online

Alasan Muncul Ide Pilkada di RUUK DIY

Monday, December 6, 20100 komentar

Berita Lampung Alasan Muncul Ide Pilkada di RUUK DIY : Konsep Paradhya atau Pengageng yang kini masuk di draf usulan RUUK DIY oleh pemerintah sejatinya masukan dari Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Universitas Gadjah MAda (UGM) Yogyakarta. Mengapa UGM mengusulkan Paradhya atau mengadakan Pemilukada di Yogyakarta?

Anggota Tim penyususunan draf RUUK DIY JIP UGM Ari Dwipayana menyebutkan landasaan munculnya Paradhya atau Pengageng akibat dari dua kutub yang dikotomis antara penetapan dan pemilihan dalam Gubernur DIY. "Ide ini muncul untuk memisahkan posisi Sultan dan gubernur. Sultan dan Pakualam sebagai institusi tersendiri, di pihak lain ada institusi demokrasi," katanya seperti di kutip Berita Lampung dari laman INILAH.COM melalui saluran telepon di Yogyakarta, Minggu (5/12/2010). Berikut wawancara lengkapnya:

Apa landasan intelektual yang dipakai Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)UGM Yogyakarta mengusulkan Paradhya atau Pengageng yang saat ini dipakai oleh pemerintah?

Persoalan Yogyakarta bukanlah sesuatu yang baru, mulai 1998, 2003 dan 2008 penuh dengan ketegangan politik. Polarisasi pemaknaan terhadap keistimewaan sampai pada posisi dikotomis, antara penetapan dan pemilihan.

Posisi ini seolah-olah tidak ada jalan keluarnya. Ketika buntu, kami di JIP, berupaya untuk mencari kemungkinan jalan tengah dari dikotomi itu. Karena tentu saja, ketika dikotomi maka yang terjadi tidak saling kompromi, posisinya diametral.

Maka muncullah upaya posisi jalan tengah, muncul konsep memisahkan posisi sultan dan gubernur. Sultan dan pakualam sebagai institusi, di pihak lain ada institusi demokrasi. Ini bukan praktik baru, di Indonesia ada Wali Nangroe, di beberapa negara ada monarki konstitusional.

Semangatnyarangkaian kultural dan konstitusi tidak saling berhadapan tapi saling melengkapi. Munculah posisi Paradhya disertai kewenangan strategis. Pada sisi yang lain demokrasi punya jalan sendiri, tetapi institusi Paradhya menjadi chek and balances pada proses demokrasi supaya lebih efektif. Itu yang melatarbelakangi. Usulan itu diserahkan ke Kemdagri.

Apakah JIP UGM melakukan survei kemudian muncul usulan tersebut?

Kami tidak melakukan survei, yang kami lakukan dialog dan wawancara dialog dengan berbagai stakeholder tentunya.

Apa sebenarnya maunya rakyat? Karena saat ini framing media cenderung memberi porsi pada gagasan yang menginginkan penetapan bukan pemilihan.
Walaupun sekarang ini menggunakan ekspresi, baru kelompok penetapan. Yang terjadi wacana yang muncul penetapan. Tapi di pihak lain ada gagasan lain. Tentu tidak bisa mengatakan yang besar atau tidak, itu politik angka.

Tapi kalau substansi rumusan komprominya seperti apa? ini yang belum dikomunikasikan dengan kuat ke publik. Meski pemerintah ada konsep Paradhya atau Pengageng namun yang tampak hanyalah pemilihan.

Padahal ada konsep pemisahan antara posisi sultan dan institusi demokrasi. Komunikasi publik pemerintah gagal karena tidak menjelaskan apa posisi pemerintah dan mengapa pemerintah mengambil posisi itu. Lalu apa kompensasi penghormatan terhadap institusi keraton. Yang ada menelanjangi dan melucuti Keraton.

Bagaimana dengan kekhawatiran adanya dualisme dalam pemerintahan DIY jika menggunakan sistem Paradhya atau Pengageng ini. Karena Paradhya juga memiliki hak veto.

Tidak akan ada dualisme karena ada pembagian yang jelas. Dualisme akan muncul kalau tidak ada tafsir rincian yang tegas mengenai kewenangan masing-masing. Tapi dalam konteks ini Paradhya sangat besar. Menjadi lembaga supra, tapi tidak boleh sewenang-wenang memakai itu.

Nah konteks di Aceh Wali Nanggroe yang mendapat pertentangan karena di sana lebih simbolik, tidak ada latar sejarah di institusi itu. Sedangkan di Yogyakarta, eksis secara politik, sosilogis, dan historis. Wali Nanggroe lembaga ciptaan untuk akmodasi dan bagian dari konsensi politik.

Adakah konsep jalan tengah selain Paradhya atau Pengageng ini?

Bisa saja kemungkinan lain bisa dicari. Itu salah satu alternatif. Misalnya apa? dulu pernah ada ide, penetapan demokratis. Itu idenya pemilihan dan penetapan oleh DPRD I. Artinya Sultan secara periodik ditetapkan oleh DPRD I.

Konsep tentang pemilihan secara demokratis, selalu diartikan dengan sistem electroal, padahal konsep demokrasi ada konsep musyawarah mufakat. Artinya setiap pejabat publik dimusyawarahkan.

Dalam konteks DIY, sultan selama lima tahun dilakukan pertanggungajwaban. Namun penetapan Sultan menjadi gubernur melalui mekanisme musyawarah di DPRD, jadi tidak seumur hidup. DPRD bisa diberi kewenangan untuk mengevaluasi atau menurunkan.

Tentu saja dicari, model-model untuk evalausi sultan kalau ada kekleliruan, seperti apa? Tapi hak demokrasi rakyat melalu DPRD tetap. Kalau yang disebut penetapan, tidak ada mekanisme demokrasi. Artinya seumur hidup, tidak berhenti-henti. Tidak ada alat pengukur keberhasilan seorang gubernur
Share this article :

Post a Comment

Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam

 
Copyright © 2011. Berita Lampung - All Rights Reserved
Template Created by Pakar Lampung Proudly powered by Blogger