Selamat datang di Berita Lampung Online

Kontroversi Undang Undang Penodaan Agama

Monday, April 19, 20100 komentar

Berita Lampung Kontroversi Undang Undang Penodaan Agama ; Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pembatalan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dalam sidang Senin, 19 April 2010. Uji materi terhadap UU Penodaan Agama diajukan oleh sejumlah aktivis dan lembaga pegiat Hak Asasi Manusia Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Imparsial, Elsam dan YLBHI.

Dalam putusan MK itu, hakim konstitusi Maria Farida Indrati menyampaikan pandangan berbeda (dissenting opionion) terhadap Putusan MK. Maria menyampaikan sejumlah alasan mengapa dia melakukan dissenting opinion.

Maria menjelaskan, UU ini dianggap produk masa lampau, yang walau berdasarkan Aturan Peralihan I UUD 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity). “Namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia,” kata Maria saat menyampaikan pandangannya.

Selain itu dalam pelaksanaannya, menurut Maria, Pemerintah telah terbukti hanya memberikan jaminan, perlindungan, serta bantuan hanya kepada enam agama yang diakui. Keenam agama itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

“Hal ini terjadi misalnya dalam penerbitan Kartu Tanda Penduduk, penerbitan Kartu Kematian, atau dalam pelaksanaan dan pencatatan perkawinan,” ujar Maria.

Maria melanjutkan, secara kelembagaan hal ini juga terlihat dari struktur di Kementerian Agama yang hanya memiliki sejumlah Direktorat Jenderal. “Hanya terdapat Dirjen Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha di Kementerian Agama,” jelas Maria.

Dampaknya, diskriminasi itu dirasakan oleh para penganut agama tradisional ataupun penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. Akibatnya mereka mengemas dan melaksanakan ritual agamanya dalam bahasa daerah setempat.

“Tidak mudah bagi setiap orang ataupun negara untuk dapat langsung memahami eksistensi spiritual mereka. Oleh karena biasanya eksistensi spiritual mereka dikemas dan dilaksanakan dalam bahasa-bahasa daerah setempat,” ucap Maria.

Pakar Hukum: UU Penodaan Agama Multitafsir

Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej, menilai Undang-undang Nomor 1/Pnps/1965 tidak memenuhi asas lex certa. UU yang akan diputuskan nasibnya di sidang Mahkamah Konstitusi hari ini harus direvisi.

“Undang-undang ini masih perlu direvisi terutama pada pasal 1 karena tidak memenuhi ketentuan “lex certa” di mana ketentuan hukum dalam pasal ini bersifat tidak tegas, kabur, dan menimbulkan multitafsir,” kata Eddy dalam diskusi publik “Tinjauan Kritis Atas UU No. 1 /PNPS/1965” di UGM, Senin 19 April 2010.

Namun, Eddy berpendapat keberadaan undang-undang ini tetap dibutuhkan untuk melindungi kehidupan beragama dalam upaya menjaga ketertiban umum. “Namun dalam pelaksanaannya perlu dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengarah pada tindakan pengadilan terhadap pemikiran, pendapat maupun keyakinan seseorang,” katanya seperti dirilis laman UGM.

Dr. Abdul Gaffar Karim, SIP, MA., Direktur Research Center for Politics and Government UGM, dalam diskusi yang sama mengatakan apabila undang-undang ini tetap dipertahankan oleh MK, maka dibutuhkan pengaturan yang lebih jelas agar tidak terjadi tindakan penodaan/ penistaan terhadap agama. “Dalam praktiknya, tidak terdapat pemisahan antara undang-undang ini dengan penodaannya. UU ini tidak mampu membedakan tindakan yang dapat dikriminalkan dengan sekedar perbedaan penafsiran,” ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, AAGN. Ari Dwipayana, SIP, M.Si, staf pengajar jurusan ilmu Pemerintahan Fisipol UGM menuturkan undang-undang penodaan agama ini layak untuk dicabut. Namun, lanjutnya dibutuhkan pengaturan lebih lanjut tentang definisi penistaan maupun penodaan agama. “Nantinya dalam peraturan yang akan dibuatpun harus ada rincian yang lebih jelas tentang apa itu penodaan dan penistaan sehingga tidak mengundang ruang tafsir yang lebih luas,” ujar Ari.

Pada akhir tahun 2009, tujuh lembaga dan empat orang individu mengajukan uji materi atas UU ini karena undang-undang ini dinilai banyak menimbulkan masalah dalam relasi masyarakat beragama di Indonesia. Dan hari ini, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan nasib UU ini.
Share this article :

Post a Comment

Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam

 
Copyright © 2011. Berita Lampung - All Rights Reserved
Template Created by Pakar Lampung Proudly powered by Blogger