Berita Lampung Fungsi Strategis Perda Penanggulangan HIV/AIDS ; Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa di Jawa Barat jumlah kasus penderita HIV/AIDS menduduki peringkat pertama. Jabar mencapai 3.213 kasus, disusul DKI Jakarta 2.810 kasus, Jawa Timur 2.753 kasus, dan keempat Papua dengan 2.605 kasus. Sementara kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta juga menunjukkan peningkatan penyebaran HIV/AIDS yang cukup signifikan dari tahun ke tahun hingga menempati peringkat ke 11 dengan prevalansi sebanyak 8,51 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 2009 (Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2010).
Meskipun demikian masalah penyebaran HIV/AIDS itu bisa dipastikan sebagai fenomena gunung es, karena jumlah penderita yang melapor atau yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus sesungguhnya. Jika asumsi rata rata penderita yang melapor hanya 10%, maka dapat asumsikan pula bahwa kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar (minimal 10 kali lipat).
Artinya dari tahun ke tahun akan terjadi persentase peningkatan kasus makin mengkhawatirkan, akibat faktor kesulitan dalam mendeteksi dan melokalisir penyebaran kasus. Maka selayaknya masalah ini mendapat penanganan serius dari pemerintah. Upaya penanganan itu antara lain melalui kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS meskipun bisa dikatakan relatif terlambat.
(1) sebagai payung hukum upaya penanggulangan HIV/AIDS,
(2) menunjang penguatan peran lembaga (KPA),
(3) sebagai dasar untuk memperoleh aloksi APBD; dan
(4) sebagai dasar dalam menetapkan prioritas program pencegahan, penanggulangan AIDS serta, penanganan ODHA.
Secara umum Raperda Penanggulangan HIV/AIDS patut diberi apresiasi sebagaimana mestinya. Beberapa hal sudah menunjukkan upaya serius dalam rencana penanggulangan ataupun upaya penanganan kasus, yang bisa ditunjukkan dari klausul tentang :
(1) tugas dan wewenang pemerintah daerah;
(2) hak dan kewajiban masyarakat;
(3) hak dan kewajiban ODHA;
(4) mekanis penanggulangan HIV/AIDS;
(5) pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS;
(6) ketentuan pembiayaan sampai dengan penetapan tindakan hukum (sanksi) atas pelanggaran Perda.
Meskipun demikian patut disayangkan bahwa rancangan kebijakan tersebut secara implisit masih menunjukkan upaya dan langkah setengah hati. Pertama, terkait dengan fenomena peningkatan kasus yang sangat mengkhawatirkan, hendaknya semangat kebijakan bukan lagi pada ranah penanggulangan atau pencegahan, melainkan lebih fokus pada penanganan (treatment) kasus. Hal ini tentu akan berkonsekuensi pada keseriusan dalam implementasi kebijakan oleh pihak pihak terkait, khususnya oleh institusi pemerintah sendiri. Klausul klausul yang mengambang ada kemungkinan menjadi justifikasi atas kelemahan pada tahap implementasi dengan dalih "ketidak jelasan aturan";
Kedua, belum ada penegasan tentang tugas, kewajiban dan tanggungjawab serta sanksi bagi institusi institusi kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan para petugas medisnya. Hal ini tidak terlapas dari fenomena perilaku dan orientasi pelayanan medis yang akhir akhir ini cenderung lebih berpihak pada profit dengan mengorbankan misi kemanusiaan dan prinsip prinsip social service, terutama dalam pelayanan warga miskin. Jika kecenderungan semacam ini kurang diperhatikan, bisa dipastikan fenomena gunung es akan benar benar terjadi dengan eskalasi penyebaran yang makin sulit dikendalikan;
Ketiga, belum ada penegasan mengenai institusi dan pejabat penaggungjawab utama dalam penanganan dan pelayanan HIV/AIDS, termasuk mekanisme koordinasi dan penyampaian akuntabilitas publik. Hal ini juga perlu ditekankan karena adanya kecenderungan perilaku ego sektoral ataupun upaya menghindari tanggungjawab, terlebih dalam konteks pelayanan publik yang tidak mendatangkan kompensasi dan keuntungan ekonomi secara langsung;
Keempat, gagasan mengenai pelibatan partisipasi warga baik dalam proses kebijakan maupun implementasi kebijakan nampaknya masih samar samar. Dalam hal ini perlu diberikan penegasan kepada institusi institusi utama di bidang pelayanan kesehatan. Misalnya dengan kewajiban membentuk semacam board atau governance bodies yang nantinya menjadi wahana komunikasi koordinasi, kerjasama dan terutama dalam rangka penyamaan kepentingan serta mencegah kemungkinan mis understanding antara institusi pemerintah dengan warga serta pihak pihak terkait lainnya.
Secara teknis board ini akan menjadi basis utama bagi institusi institusi terkait dalam perumusan mekanisme atau prosedur pelayanan, misalnya dalam merumuskan Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau Citizen Charter.
Tanpa bermaksud mereduksi berbagai potensi hambatan dan kesulitan dalam perumusan kebijakan hingga tahap implementasinya, penanggulangan dan penanganan kasus HIV/AIDS sudah saatnya menjadi prioritas kinerja pemerintah di semua level yang didukung gerakan massive warga. Bersamaan perumusan kebijakan, ada baiknya mengubah image tentang HIV/AIDS dari penyakit ôkutukanö menjadi penyakit berat pada umumnyaö perlu dijadikan slogan dan promosi awal. Langkah ini sangat diperlukan guna mendorong keterbukaan ODHA dan mendekonstruksi cara bepikir masyarakat yang cenderung resisten, sehingga upaya melokalisir penyebaran kasus menjadi lebih mudah.
Tag ;
Makalah Fungsi Strategis Perda Penanggulangan HIV/AIDS
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam