Kemiskinan Lampung adalah Nyata
Monday, July 6, 20090 komentar
Perang teori, sesungguhnya terjadi antara pengamat dan BPS yang didukung pemerintah terhadap munculnya data itu. Meskipun para birokrat lebih senang nggerundel daripada menyampaikan secara resmi kepada publik. Berbagai analisis akademis dikeluarkan pengamat. Termasuk meragukan data yang dikeluarkan BPS. Sementara, birokrat terus mengagungkan data sebagai suatu yang lebih faktual ketimbang analisis akademis sekalipun.
AWAL Juli 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung merilis data jumlah penduduk miskin Lampung turun 2,09%. Angka ini kabar gembira. Namun, pengamat ekonomi meragukan struktur ekonomi yang dinilai sebagai bangun sementara. Penurunan itu, kata pengamat, karena faktor musim panen dan turunnya kebijakan pemerintah yang bersifat sesaat, yakni bantuan langsung tunai (BLT).
BPS membuat kesimpulan angka kemiskinan Lampung 2009 dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dilakukan pada Maret 2009 di seluruh kabupaten/kota Lampung. Jumlah sampelnya sebanyak 2.176 rumah tangga dan hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsi.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen. Yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) yang dihitung dari nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori/kapita/hari.
Kemudian garis kemiskinan bukan-makanan (GKBM) yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan.
Melihat variabel untuk mengukur satu keluarga itu masuk kategori miskin atau tidak, tampaknya BPS masih menggunakan standar ekstrem. Dengan standar pemenuhan kebutuhan makan setara 2.100 kilo kalori per hari, angka itu jelas beda kontras dengan fakta di lapangan. Oleh sebab itu, polemik di tingkat elite tentang data yang muncul, sama sekali tidak dimengerti oleh rakyat yang nota bene dari kalangan miskin. Sebab, elite menggunakan ukuran-ukuran yang spesifik dan istilah-istilah khusus.
Agak menjadi terang ketika pengamat ekonomi Unila Asrian Hendi Caya berkenan menyederhanakan hitungan dengan mengonversikan berapa angka 2.100 kilokalori itu dalam bentuk yang lebih konkret. Ia menyebut, angka 2.100 kilokalori itu jika dinominalkan setara dengan Rp188 ribu sebulan. Ini fakta yang amat sulit untuk diterima secara logika, bagaimana mungkin seorang manusia hidup, dinyatakan tidak miskin ketika telah makan senilai Rp6.500 per 24 jam. Angka ini secara fakta setara dengan sebungkus nasi dengan lauk telur.
Tentu, ketika hitungan amat sederhana ini disampaikan kepada BPS dan pemerintah, pasti terbantahkan dengan berbagai ilmu analisis. Sebab, penghitungan versi survei memang lebih komprehensif dan lebih ilmiah. Namun, yang menjadi persoalan, para rakyat miskin itu juga tidak bisa berlaku serumit dan seilmiah ilmu para analis. Yang mereka tahu adalah, ketika merasakan lapar, jawabannya adalah makan, bukan yang lain.
Oleh sebab itu, ukuran BPS dalam menimbang rakyat miskin ini harus dimaknai sebagai data dan hanya data. Kalau pihak pemerintah lalu mengklaim data itu sebagai prestasi dan mengategorikan penduduk dengan tingkat konsumsi setara Rp188 ribu per bulan dinyatakan sudah lepas dari garis kemiskinan, itu sulit diterima. Sebab, para pengemis, para gelandangan, anak jalanan, dan saudara-saudara kita yang setara dengan itu, faktanya sudah makan lebih dari nilai itu dalam sehari. Lalu, apakah kita sudah tega menyatakan mereka sudah mentas dari miskin? ---sumber---
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam