Pemerintahan DIY Bukan Monarki : Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, sistem pemerintahan di Provinsi DIY tidak berdasarkan sistem monarki. Meski Sultan HB X juga menjabat gubernur, hal itu ditempuh sesuai aturan yang berlaku. ”Saya tidak tahu yang dimaksud dengan sistem monarki yang disampaikan pemerintah pusat. Pemda DIY ini sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, dan peraturan pelaksanaannya,” kata Sultan Hamengku Buwono (HB) X kepada pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta, Sabtu (27/11/2010).
Sultan HB X menyatakan hal itu menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010). Beberapa media memberitakan, terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, Presiden menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi. ”Apakah yang dimaksud monarki itu karena kebetulan Sultan menjadi gubernur?” tanya Sultan HB X.
Sultan HB X mempertanyakan draf RUUK DIY yang diajukan pemerintah kepada DPR, apakah itu justru bukan bernapaskan sistem monarki? Ia menunjukkan, di dalam draf RUUK DIY itu, Sultan HB X dan Paku Alam yang bertakhta akan menduduki jabatan baru, yaitu Parardhya, yang memiliki beberapa kewenangan khusus.
”Di dalam draf RUUK pemerintah, Sultan dan Paku Alam ada di dalam institusi Parardhya, yang mendapatkan hak imunitas, ini berarti tidak bisa dijangkau hukum, apakah itu tidak bertentangan dengan konstitusi? Apakah itu demokratis atau malah monarki?” katanya.
Sultan HB X mengatakan, ia diangkat sebagai gubernur pada era Presiden BJ Habibie dan Megawati Sokernoputri sesuai mekanisme dan peraturan. DPRD mengajukan calon lewat fraksi, kemudian menggelar rapat pleno (sidang paripurna DPRD), keputusannya mohon kepada presiden untuk mengeluarkan SK pengangkatan gubernur.
Sultan HB X menyatakan, bila ia sebagai Sultan dianggap pemerintah pusat mengganggu penataan pemerintahan di DIY terkait pemilihan atau penetapan gubernur DIY, Sultan akan mempertimbangkan kembali jabatan gubernur yang dijabatnya itu. ”Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali,” katanya.
Namun, Sultan HB X tidak memperjelas maksud pernyataannya itu. Ia mempersilakan publik menafsirkan sendiri. Sultan HB X mengatakan, dalam proses demokratisasi, harus ada dialog dengan masyarakat yang didasari ketulusan dan kejujuran. Dengan demikian, masyarakat menjadi subyek dalam proses demokratisasi.
Terkait dengan pengisian jabatan gubernur-wakil gubernur DIY, menurut Sultan, hal itu harus ditanyakan kepada rakyat karena rakyatlah pemegang kedaulatan.
”Jangan sekadar melihat demokratis atau tidak demokratis hanya pada aspek prosedural. Kalau bicara aspek penetapan atau pemilihan (gubernur DIY), hak sepenuhnya menentukan itu ada pada masyarakat, bukan saya,” katanya.
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam