Kisah Mengembalikan Keperawanan di Makam Kembar Dayeuhkolot Bandung : SEKITAR 32 kilometer selatan ‘Kota Kembang’, terdapat dua makam kembar, tepatnya di Dayeuhkolot. Lokasi itu berada di punggung Pegunungan Wirabuana yang berhawa sejuk segar. Karena medannya yang sulit, dua makam itu hanya bisa dicapai dengan naik ojek selama dua jam. Diteruskan dengan menelusuri jalan setapak menanjak dan melelahkan.
Dari cerita yang layak dipercaya, kedua makam itu sering didatangi wanita, terutama berusia muda, hampir dari seluruh pelosok Jawa Barat. Menariknya, mungkin karena duitnya cekak untuk operasi, mereka berniat mengembalikan keperawanan. Dari cerita turun-temurun, makam tersebut tempat disemayamkannya tiga dara bersaudara, yang meninggal setelah diperkosa pemuda berandalan pada tahun 1964. Pada tahun 60-an Jawa Barat memang dikenal rawan keamanan. Ketiga mojang Priangan itu adalah Siti Aisyah, Siti Mahmuda dan Siti Ro’yah binti Djaelani.
Ketiganya kakak beradik. Menurut Jajang (31), pemuda lajang yang berprofesi sebagai pemandu peziarah, ketika itu tiga putri Pak Djaelani sedang memetik sayuran di kebun belakang rumahnya. Kemudian didatangi sembilan pemuda kampung. Karena merasa kenal, ketiga gadis itu tidak menaruh curiga. Satu di antara sembilan pemuda itu menyampaikan cintanya pada Siti Aisyah. Tapi ternyata cinta itu bertepuk sebelah tangan. Siti Aisyah menolak dengan halus karena sudah punya kekasih, bahkan lima bulan lagi dia akan menikah dengan pria idaman. Atas penolakan itu, sang pemuda pun berang, Siti Aisyah beserta adik-adiknya diseret ke lereng Gunung Wirabuana. Ketiganya diperkosa secara bergiliran di kaki bukit itu. Sampai di rumah, ketiga gadis itu melapor pada Djaelani.
Merasa jiwanya terancam saat diburu, para berandal itu lalu kabur ke kota. Siti Aisyah pun khawatir pernikahannya gagal, setelah merasa tidak perawan lagi. Dia lalu mengajak dua adiknya melarikan diri ke gunung yang tak jauh dari rumahnya. Di sana mereka melakukan semedi. Mereka menolak ketika diajak pulang, dengan alasan malu kepada seisi kampung. Di gunung itu mereka bertiga berpuasa hingga ajal menjemput mereka. Makamnya dijadikan dalam satu area dan satu cungkup. Jajang mengaku tidak tahu dari mana asal-muasalnya sehingga makam tiga gadis malang itu banyak didatangi peziarah. “Setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Legi makam kembar ini penuh wanita muda lajang maupun setengah baya. Ketika saya tanya kenapa datang ke sini, jawab mereka ingin mengembalikan keperawanan. Mereka mengaku ingin memuaskan pasangan maupun calon suami,” tandas Jajang.
Merujuk penjelasan Jajang, dengan berziarah ke makam kembar, pada prinsipnya para wanita tersebut berharap bisa makin hot di bidang seksualnya. Tapi untuk meyakini kebenaran itu, Jajang tak berani memastikan. “Wallahualam, hanya Allah yang tahu kebenaran itu. Tapi nyatanya yang datang ke sini orangnya juga itu-itu saja. Habis ke sini, bulan depan ke sini lagi, itu sudah dapat dipastikan,” tambah Jajang.
Alhasil, mitos keajaiban makam kembar itu pun lalu dimanfaatkan penjaja sex komersial (PSK) untuk memburu ‘keperawanan’, agar bisa memuasi pelanggan. Saat ditemui, ibu ketiga gadis malang itu (Djaelani sudah meninggal) enggan berkomentar. Tapi menurut adik ketiga gadis malang yang kini tinggal bersama suaminya di sebelah rumah, ibunya selalu sedih bila mendengar cerita makam ketiga anaknya diziarahi dengan maksud seperti itu. “Bagi kami sekeluarga, itu sangat memalukan dan aib. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak sekitar tahun 87-an, makam teh (kakak perempuan) Aisyah, teh Mahmuda dan teh Ro’yah makin banyak diziarahi. Menurut beberapa orang, dapat mengembalikan keperawanan. Padahal apa betul gitu?” kata adik ketiga gadis malang itu dengan logat Sundanya yang kental.
Pernyataan adik Siti Aisyah itu juga dibenarkan beberapa warga. Namun peziarah yang kebanyakan datang dari dalam dan luar kota Bandung, tetap saja meyakini makam kembar ini bertuah mengembalikan keperawanan. Menurut Jajang, beberapa ibu yang kerap datang ke makam, biasanya membawa beberapa botol air mineral. Air itu kemudian ditaruh dalam lingkaran cungkup makam selama satu malam. Karena saking banyaknya peziarah, botol-botol minuman itu diberi nama masing-masing peziarah. Setelah botol minuman ditaruh, ibu-ibu atau mbak-mbak melakukan dzikir di sekeliling makam semalam suntuk. Esoknya air itu dibawa pulang untuk dibuat mandi atau diminum. Setelah botol air mineral habis dan mungkin merasakan khasiatnya, mereka datang lagi.
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam