Proses Pilkada langsung Hasil Perjuangan Panjang Rakyat : KELUHAN terhadap proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dari sebagian masyarakat kembali muncul. Hal ini berkaitan dengan ekses atau dampak atas pilkada langsung itu yang dapat mereduksi hakikat dan makna pilkada langsung. Dari seluruh argumentasi yang mengemuka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memberi apresiasi bahwa pilkada langsung merupakan pilihan yang terbaik. (SM, 29/07/10).
Alasan dari kelompok masyarakat yang mempertahankan pilkada langsung karena hasil perjuangan panjang rakyat yang menginginkan agar demokrasi ditegakkan. Mengganti pilkada langsung sama saja dengan menghianati rakyat. Hal itu akan memasung hak masyarakat menentukan pemimpinnya secara langsung.
Perjuangan regulasi pilkada langsung oleh rakyat membutuhkan waktu panjang. Selama pemerintahan Orde Baru (32 tahun) hak rakyat untuk memilih pemimpin tidak bisa dilakukan. Masyarakat baru bisa menentukan pemimpinnya sendiri melalui ajang pemilihan langsung setelah reformasi bergulir.
Selain itu, mengganti pilakada langsung berpotensi mereduksi hakikat dan substansi demokrasi karena tidak mewakili representasi dari kehendak dan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan pemilihan pilkada (provinsi dan kabupaten/kota) yang bergulir pada era otda merupakan salah satu paket kebijakan reformasi politik. Praktik penyelenggaraan pilkada akibat terbukanya keran demokrasi, belakangan menimbulkan kecemasan. Jika dijumlah seluruh kabupaten ada 471 dan jumlah provinsi 33 daerah, maka dalam lima tahun ada 504 pilkada langsung. Jika dalam lima tahun diadakan pilkada, maka setiap 3,6 hari sekali ada pilkada digelar.
Risiko penyelenggaraan pilkada yang sering menjadi sorotan perhatian adalah faktor konflik dan biaya besar yang harus dikeluarkan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah provinsi dan kabupaten/ kota ataupun oleh peserta pilkada. Dalam penyelenggaraan otda, timbulnya konflik memang tidak hanya akibat dari perguliran isu dan kebijakan pemekaran wilayah tetapi juga karena pelaksanaan pilkada.
Biaya pilkada memang mahal. Mahalnya biaya tidak hanya dilihat dari besar anggaran yang harus dipikul oleh APBD tetapi juga biaya-biaya yang harus dikeluarkan calon kepada daerah.
Pelaksanaan pilkada di Indonesia, seperti pelaksanaan pilgub di Jawa Timur menjadi pelajaran penting. Biaya pilgub Jatim menjadi termahal karena menelan dana APBD Jatim hampir Rp 800 miliar. Selain mahal, pilgub Jatim melelahkan karena sampai tiga putaran. Bahkan, menimbulkan ketegangan yang nyaris berbuah konflik horizontal. Pilgub tersebut juga diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi.
Selain di Jatim, pilgub yang menimbulkan ketegangan konflik terjadi di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan. Dari berbagai proses pilkada itulah yang menjadi argumen untuk meninjau kembali kebijakan pilkada langsung. Pertimbangan utama tetap pada masalah besarnya biaya dan risiko yang timbul akibat konflik.
Gelombang Demokrasi Demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi kembali menjadi agenda dan sekaligus ciri yang sangat penting dalam konteks perkembangan politik terutama setelah Samuel Huntington mempublikasikan karya penting soal Gelombang Demokrasi Ketiga (Samuel P Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press, 1991). Gelombang Demokratisasi Pertama menurut Huntington terjadi pada tahun 1828 hingga 1926 dan kemudian disusul dengan Gelombang Kedua pada 1943 hingga 1962 dan Gelombang Ketiga diawali dengan jatuhnya Rezim Portugal tahun 1974 hingga transisi demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989.
Proses demokrasi di Indonesia, menurut Anders Uhlin yang menggagas tentang Gelombang Ketiga Demokratisasi dan pengaruhnya di Indonesia, justru sedang memulai dan merintis jalan transisinya. Buku Uhlin sendiri, membahas pengaruh Gelombang Ketiga Demokratisasi di Indonesia, dan tampaknya Uhlin sedikit pesimistis dengan masa depan demokratisasi di Indonesia. (Uhlin, Anders , Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press, 1997)
Bila ditarik dalam konteks terlaksananya pemilihan umum yang jujur dan adil pada 1999, 2004, dan 2009 serta sejumlah pembangunan politik yang menyertainya dianalisis lebih jauh, maka Transisi Demokrasi di Indonesia juga termasuk dalam jajaran Gelombang Demokrasi Ketiga.
Pada masa Orde Baru, pemegang peran sentral dalam proses pilkada adalah Mendagri sebagai operator Presiden Soeharto. Tidak mungkin terpilih menjadi gubernur atau bupati/ wali kota jika tanpa restu Soeharto saat itu, walaupun sudah terpilih di DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Pilkada langsung adalah hasil rumusan dari aspirasi masyarakat akibat adanya perubahan sistem politik dari otoriter menjadi demokratis. Jika memakai pertimbangan biaya, bukan hanya semata-mata memakai dasar perhitungan kuantitatif dan kalkulasi akuntansi melainkan juga menghitung social cost yang juga harus ditanggung ketika akan mengubah sistem pilkada langsung.
Dampak lain yang tidak mudah dikalkulasi adalah berkurangnya derajat demokrasi lokal. Krisis kepercayaan keterwakilan publik akibat sistem rekrutmen yang kurang kredibel akan mengurangi kualitas legitimasi makna kedaulatan rakyat itu sendiri. Karena itu, pilkada langsung masih menjadi pilihan terbaik dalam membangun demokrasi di Indonesia.
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam