Teroris di Aceh dimotori aktivis dari Lampung, Pihak kepolisian telah berhasil mengidentifikasi siapa sebenarnya kelompok yang kini diburu di Aceh. Kepolisian memastikan pelakunya tetap organisasi lama. Yakni salah satu faksi Jamaah Islamiyah (JI) dengan gabungan aktivis NII (Negara Islam Indonesia) yang dimotori aktivis dari Lampung.
Menurut penuturan sumber di kepolisian, meski sebagian besar anak buahnya tertangkap, pentolan kelompok itu masih bebas. ’’Dia adalah tokoh lama. Lama berjihad di Poso dan kemudian masuk ke kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina, pada 1998," ujar sumber itu. Sumber tersebut lantas menyebut nama tokoh itu, namun mewanti-wanti agar tidak menulis namanya langsung karena belum tertangkap. ’’Tulis saja inisialnya, Mt," tuturnya.
Mt termasuk generasi keempat yang masuk Filipina. Sempat di Kamp Abu Baka, dia kemudian membuat sebuah kamp baru di kawasan Liguasan Marsh, S.K. Pendaton, Mindanao. Dia dilatih langsung oleh Ikrima alias Ali Fauzi dan Mike alias Umar Patek.
Menurut sumber tadi, Mt mengumpulkan aktivis-aktivis tersebut tak lebih dari tiga bulan lalu. ’’Ini tergolong cukup lama karena mereka baru menempati kamp di Aceh satu setengah bulan lalu," urainya. Yang menjadi motor kelompok tersebut adalah para aktivis Lampung. Lantas, banyak aktivis Jawa ikut bergabung.
Sumber itu menambahkan, Aceh dipilih karena sejumlah tempat yang secara ’’tradisi" cukup aman kini dipelototi. Sulawesi Utara, Poso, dan Jawa kini bukan lagi ’’surga" bagi para militan. Terdapat 200-an aktivis militan kelas kakap di Jawa yang kini terus dipantau polisi. Itu sebabnya para aktivis tersebut rata-rata memilih tidak bergerak. ’’Selalu ada anggota yang memantau. Jadi, kami bisa langsung mendeteksi ada gerakan apa di lapangan," tambah sumber tadi.
Peta persebaran kelompok aktivis militan itu relatif tak berubah. Mulai Jawa Tengah ke arah timur, yang ’’berkuasa" adalah aktivis JI. Sebelum Ali Ghufron dan faksinya tertangkap, Tenggulun, Lamongan, atau Jatim merupakan pusat kegiatan aktivis JI. Kegiatan perekrutan, perencanaan aksi, persiapan perang, dan sesekali pelatihan sering dilakukan di Jatim.
Yang menjadi daerah penopang sangat kuat adalah Solo, Jateng. Embrio JI boleh dibilang berasal dari Solo. Gerakan jihad yang paling aktif di Poso dan Mindanao (aktivisnya kemudian menjadi pentolan-pentolan kegiatan terorisme belakangan ini) berasal dari gabungan aktivis Solo dan Jatim. Contoh paling nyata adalah Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) yang didirikan Ali Imron dan dimotori Ali Fauzi, dua bersaudara asal Tenggulun, Lamongan, Jatim.
Sumber di internal kepolisian itu mengatakan, Mt mendapat suplai dana dari luar negeri. ’’Tampaknya, masih ada penghubung antara Al Qaidah dengan kelompok militan di Indonesia. Apa ini masih satu link dengan penghubung kelompok Ibrohim, ini yang masih kami selidiki," tambahnya.
Saat dikonfirmasi, Ali Fauzi membenarkan bahwa sebagian besar aktivis yang kini diburu Densus 88 di Aceh adalah mantan anak buahnya. ’’Sebagian saya kenal dan pernah bersama di Poso dan Filipina. Tapi, saya sudah lama tidak kontak dengan mereka," ucapnya.
Tetapi, Ali Fauzi tidak memahami mengapa para aktivis itu memilih Aceh sebagai kamp pelatihan. ’’Karakter orang Aceh itu punya kecenderungan curiga dengan orang asing. Sewaktu GAM masih eksis, ketika kami menawarkan diri untuk bergabung, mereka menolak kami kok," ucapnya. Makanya, Ali Fauzi tak heran bila belum lama kamp tersebut sudah diendus polisi.
Bergesernya kantong-kantong teroris di Indonesia ke Aceh jelas memiliki tujuan tertentu.
Pengamat terorisme Al Chaidar menilai ada upaya untuk membuat Aceh menjadi Mindanao-nya Indonesia. Selain letaknya yang strategis, kultur Aceh yang kental dengan syariat Islam sangat mendukung gerakan mereka.
’’Mereka punya target tertentu di Aceh. Aceh bagi mereka sangat nyaman seperti Mindanao di Filipina. Kemungkinan mereka akan sangat lama di Aceh karena ini sudah jadi basecamp mereka," kata Al Chaidar saat dihubungi dari Jakarta kemarin (7/3).
Al Chaidar yang juga asli Aceh itu menambahkan, posisi Aceh sangat strategis. Dekat dengan Selat Malaka dan negari jiran. Kalau ada apa-apa, mereka dengan mudah bisa kabur ke negeri sebelah. ’’Mereka juga bisa dengan gampang membajak kapal-kapal. Apalagi, lalu lintas kapal di Selat Malaka sangat padat," katanya.
Selain itu, kata dia, Aceh sangat kental dengan kultur syariah Islam. Itu membuat mereka semakin leluasa berlindung dan mencari pengikut. Lagi pula, kata dia, Aceh akhir-akhir ini tak banyak dimonitor perkembangannya oleh pemerintah.
Karena itu, Al Chaidar menengarai Aceh akan menjadi home base baru bagi jaringan terorisme yang belum habis. Apalagi banyak kawasan hutan dan bukit-bukit yang terlindung dari dunia luar. Itu membuat mereka bisa dengan leluasa membangun markas seperti yang dilakukan Abu Sayyaf dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Pulau Mindanao, kawasan selatan Filipina.
’’Selain itu, daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat sudah terlalu sering digerebek Densus 88. Mau tidak mau, mereka harus mencari daerah baru," katanya.
Namun, kata Al Chaidar, jaringan terorisme itu bakal sulit mencari pengikut dari orang Aceh. Sebab, masyarakat Aceh mudah curiga dengan orang-orang asing. Apalagi masyarakat tanah rencong sangat trauma dengan militerisme. ’’Memang ada orang Aceh yang jadi pengikut. Tapi, itu tidak banyak. Mungkin hanya 20 persen. Sisanya adalah orang-orang lama," katanya.
Meski begitu, kata Al Chaidar, itu harus diwaspadai oleh pemerintah. Sebab, kendati tidak banyak, beberapa masyarakat Aceh sudah terlibat dalam gerakan terorisme. ’’Ini artinya, mereka sudah bisa memenangkan heart and mind masyarakat Aceh," katanya.
+ komentar + 1 komentar
berkunjung mas .. :D
/me mu baca2 ni .. :lol:
Post a Comment
Silahkan Anda Komentari Tulisan di blog ini, Maaf Tidak Untuk berpromosi atau dianggap spam